gambar jakfi 3
gambar jakfi 3

Oleh : Afika

Semakin jelasnya tindakan dzolim yang dengan bangga dipertontonkan di muka umum hari ini, semakin menyadarkan hati nurani akan rusaknya moral manusia yang hidup di zaman ini.

Tindakan moral yang kaitannya dengan hati manusia, adalah produk dari tempat di mana hati itu dididik, yaitu rumah cinta.

Ketika kita menyaksikan kerusakan moral hari ini, kita patut curiga, ada masalah di dalam rumah cinta masyarakat kita.

Mungkinkah ketika cinta itu masih hidup di dalam rumah, maka ia akan mengkhianati cinta dalam masyarakat?

Tindakan, secara sederhana merupakan buah dari kesadaran seseorang. Minimal itu adalah karakter yang terbangun berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan sejak kecil. Kebiasaan inilah yang juga membentuk kepribadian, dan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam tindak-tanduk seseorang.

Secara fitrah, setiap manusia terlahir dalam keadaan yang suci. Setiap manusia secara alamiah memiliki kapasitas yang siap untuk menerima pendidikan. Tak sedikit para pemikir yang bahkan mengandaikan seorang bayi yang baru lahir itu sebagai kertas putih yang suci dari noda. “Kesucian” yang sifatnya fitrah ini akan mulai terwarnai ketika ia melihat atau menerima perlakuan dari lingkungan sekitarnya.

Tempat jiwa pertama kali dikondisikan dan banyak mendapatkan didikan adalah rumah di mana Ia lahir. Orang-orang yang hidup dalam rumah itulah, yang berinteraksi dengan jiwa yang suci ini, lantas memberikan warna kepadanya.

Baik tidaknya kepribadian pada jiwa suci ini kelak, bergantung banyak pada bagaimana jiwa ini mendapatkan pendidikan pertama di dalam rumah itu. Dan sesungguhnya yang bertanggung jawab akan hal ini adalah orang tua dari masing-masing anak.

“Kedua orang tua membentuk akhlak dan jiwa si anak, membatasi tiang-tiang kepribadiannya, dan mempersembahkan kepada masyarakat”.

Ibrahim Amini

Kita masih patut bersyukur, masih terdapat orang-orang yang sadar akan masalah terstruktur dalam masyarakat kita ini. Mereka yang sadar, bergegas mengupayakan untuk melakukan perbaikan masalah sosial kita dari akar masalahnya secara langsung. Melacaknya dalam pola didik yang terjadi pada rumah-rumah masyarakat kita. Berkembanglah ilmu-ilmu tentang parenting, dan menjadi satu tren baru.

Terdapat banyak sekali ragam metode parenting yang beredar hari ini. Sebagai sebuah pilihan kita dapat memilih dengan bebas sesuai dengan kehendak dan evaluasi kita.

Namun di sisi lain, kita pun meyakini islam sebagai sebaik-baik jalan (metode) hidup. Islam hadir dengan seperangkat “aturan” yang holisik, sebagai jalan penyelamatan dan kebahagiaan bagi hidup manusia.

Bagaimana sesungguhnya perspektif Islam terkait isu parenting ini? Apakah Islam yang bahkan mengatur seseorang dalam memilih kaki mana yang pertama kali dilangkahkan ke kamar mandi, tak memiliki pedoman yang jelas tentang parenting? Betulkan islam tak memiliki pedoman tentang pola didik yang sejatinya menjadi basis transformasi akhlak pada masyarakat kita?

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
(QS. Al-Ahzab 33:21)

Ayat di atas menjadi keyakinan bagi (setidaknya) seorang muslim untuk menjadikan Rasulullah Muhammad Saw. sebagai contoh dalam hidupnya.

Jika Rasulullah sebagai sosok suri tauladan yang paling layak, mengapa kita tak mencoba untuk menggali bagaimana Rasul dalam mendidik anaknya?

Jika beliau adalah sebaik-baik manusia yang seluruh alam bersalawat kepadanya, mengapa kita masih ragu dan cenderung mempercayakan pola didik untuk buah hati kita kepada selain dari sebaik-baik manusia ini?

Pendidikan dalam rumah tangga, utamanya dilakukan oleh kerja sama dua orang. Laki-laki yang mengambil figur ayah, bekerja sama dengan perempuan yang mengambil figur ibu. Rasulullah dalam mendidik anaknya, bekerja sama dengan Sayyidah Khadijah, salah seorang wanita yang juga disebut sebagai wanita yang dirindukan oleh Surga. Wanita dengan akhlak mulia yang mengorbankan banyak hal dalam jalan kenabian, dan wanita yang membuat nabi sangat bersedih ketika ditinggalkan dalam kematiannya.

Dengan asuhan seorang ayah dan ibu yang menjadi wujud nyata dari segala kebaikan, siapakah sosok yang terdidik dari rumah suci kenabian ini?

Seperti apakah kepribadian sosok yang tumbuh dengan didikan kasih dan cinta dari manusia yang paling adil itu?

Tidakkah upaya pengenalan terhadap pribadi agung yang terdidik dari wahyu itu menjadi sangat layak untuk dilakukan? Mencontoh bagaimana kesucian, ketaatan dan cinta itu terbingkai dengan baik dari dalam rumah, dan menjadi basis transformasi melawan berbagai bentuk keburukan.

Akhirnya, pencarian kita akan sebaik-baik model pendidikan, ada pada sebaik-baik makhluk-Nya, pada rumah kenabian. Rumah yang tak diisi selain ketaatan dan cinta kepada-Nya.

Dengan bekal itu, contoh pendidikan itu kenabian selayaknya menjadi contoh bagi kita yang ingin berjalan pada pada sebaik-baik jalan hidup.

Wallahualam bishawab

31 Mei 2024