Stereotipe barat tentang kaum muslim menurut Oliver Leaman ialah sebagai kelompok orang yang beragama dengan fanatik. Kefanatikan ini membuat seorang muslim dipandang tak lagi menggunakan rasionalitas. Lahirlah sosok beragama yang dogmatis, tak punya landasan ilmiah. Berakhir menjadi orang jumud yang tak dapat diajak berbincang soal keyakinan.
Penilaian tersebut mungkin dapat dikatakan penilaian yang terburu-buru ketika digeneralkan kepada seluruh umat muslim. Hanya saja, penilaian ini juga tak dapat diingkari sepenuhnya. Fenomena kaum muslimin yang beragama dengan jalan dogmatis tadi, termasuk yang menggaungkan jihad secara serampangan dan mengkhianati kemanusiaan, menjadi dasar penilaian barat ini.
Sampai di titik ini, kita melihat tantangan islam datang dari dua sisi. Yang pertama adalah faktor eksternal berupa stereotipe negatif yang terkonstruk sedemikian rupa sehingga membuat wajah islam menjadi momok bagi kaum muslim secara umum. Kedua, faktor dinamika internal yang memang terjadi dalam tubuh umat muslim, termasuk kaitannya dalam penolakan terhadap filsafat.
Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan pertanyaan, apakah filsafat yang dinisbahkan kepada akal dan agama yang bersumber dari wahyu adalah dua hal yang bertentangan?
Apakah filsafat berdasarkan sejarahnya adalah murni produk Yunani, sehingga ketika terdengar istilah filsafat islam, tiada lain hanya filsafat Yunani yang berubah nama menjadi filsafat islam di kalangan umat muslim?
Atau filsafat islam merupakan lanjutan dari filsafat Yunani, hanya saja dalam perkembangannya telah dipadukan dengan tradisi islam? Pandangan kedua ini dianut oleh kaum moderat.
Pandangan lainnya yang datang dari kaum Shadrian, meyakini filsafat islam adalah murni lahir dari rahim tradisi islam, dan disebutlah ia sebagai hikmah. Pandangan ini didasarkan pada argumen bahwa teks-teks asli islam sebenarnya mengandung karakteristik filosofis, sehingga antara filsafat (basis rasionalitas) sebenarnya sama sekali tak terpisah dengan ajaran islam itu sendiri.
Setidaknya 3 pandangan ini yang akan didudukkan pada pembahasan-pembahasan berikutnya.
Sampai sesi ini, kita ingin melihat peran filsafat secara umum dalam keberagamaan seseorang. Apakah filsafat menjadi hal yamg mereduksi agama, atau justru filsafat hadir sebagai penguat dan termasuk seruan dalam agama khususnya islam?
Pengetahuan, kebenaran, konsep baik dan buruk merupakan topik yang dibahas baik oleh agama maupun filsafat. Agama melalui seruan wahyu, menyeru manusia untuk berpengetahuan, menetapi kebenaran, melakukan kebaikan (amar ma’ruf) dan menjauhi keburukan (nahi munkar). Filsafat membicarakan tentang bagaimana manusia dapat sampai pada kebenaran dan kebijaksanan. Dalam tahap aksiologi, filsafat membincang bagaimana perbuatan baik dan buruk didudukkan untuk ditemukan titik objektifnya sebagai acuan moral bersama (nilai-nilai kemanusiaan).
Dari penguraian singkat ini, kita melihat bahwa baik agama dan filsafat sebenarnya bertemu dalam satu titik yang sama. Bahkan filsafat selaras dengan agama. Hanya saja, memang penting untuk mendudukkan paradigma teoritis yang digunakan, sebab filsafat tidaklah terdiri dari aliran pemikiran yang tunggal. Namun secara prinsipil sedekat yang penulis pahami, semangat filsafat adalah semangat kritis untuk sampai pada kebijaksanaan yang sama sekali tak bertentangan dengan agama.
Lalu mengapa keyakinan (termasuk agama) kita hari ini perlu melewati tahap penguraian yang kritis ini (Filsafat)?
Pertama, filsafat minimal menjadi jalan pengujian kebenaran dari keyakinan yang diamini. Apakah keyakinan yang kita peluk hari ini memiliki landasan yang daapt dipertanggungjawabkan? Hidup dengan keyakinan palsu tidakkah menjadi hidup yang sangat sia-sia?
Kedua, fakta pada realitas menunjukkan kepada kita bagaimana keburukan dan kedzoliman terjadi. Banyak oknum yang tak bertanggungjawab, memenuhi kepentingan materil, kekuasaan dan hawa nafsu dengan cap agama. Akibatnya, orang yang beragama tanpa basis kritisisme, sangat rentan menjadi objek eksploitasi atas nama agama. Yang sangat disayangkan ketika agama pun digunakan sebagai legalisasi untuk mengambil hak orang lain. Kita menyaksikan hal ini dalam fenomena orang-orang yang membunuh orang lain, dengan dalih menyelamatkannya dari dosa (dalih agama). Betapa sulit kita meyakini agama yang menginjak kemanusiaan.
Wallahualam bishawab.