Agama Penjamin Kebahagiaan

Beragam ikhtiar dilakukan oleh manusia dalam hidupnya agar dapat hidup bahagia. Manusia mencari uang, mengkonsumsi makanan yang digemari, melakukan kegiatan yang disukainya, untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut.

Namun dalam pemenuhan kebahagiaan ini, ternyata manusia menemui 2 masalah.

Pertama, kebahagiaan melalui uang, makanan, dan hobi yang dilakukan hanya bertahan selama kegiatan itu berlangsung saja. Tidak dapat memberikan efek yang jangka panjang. Padahal, fitrah manusia menuntut pemenuhan kebahagiaan yang sifatnya tak terbatas.

Kedua, ikhtiar menusia dalam pemenuhan kebahagiaannya tak jarang berpotongan dengan kebahagiaan orang lain. Sehingga timbul pertanyaan, apakah orang lain adalah suatu hambatan bagi kebahagiaan kita? Jika jawabannya afirmasi, maka bagaimana memahami hal tersebut dengan karakter manusia yang pada saat yang sama juga merupakan makhluk sosial? Jika jawabannya adalah negasi, bagaimana cara manusia mencapai kebahagiaan bersama-sama (kehidupan sosial)?

Pertanyaan pertama menarik kita dalam perenungan, kebahagiaan seperti apa yang sesungguhnya dapat memenuhi fitrah manusia (individu) itu? Apakah pemenuhan lewat aspek material adalah jalan yang tepat?

Hal-hal yang sifatnya material berdasarkan karakteristiknya yang terbatas, tidak selaras dengan kecenderungan (fitrah) manusia yang tak terbatas. Sehingga dalam mencari kebahagiaan tersebut, manusia membutuhkan sesuatu yang sifatnya eksistensial. Pemenuhan kebahagiaan melalui aspek material, justru menjerumuskan manusia dalam kerusakan, baik itu kepada dirinya maupun kepada hal di luar dirinya. Kerusakan alam dan tindakan eksploitasi terhadap orang lain merupakan efek dari hal ini.

Terkait pertanyaan kedua, karakter manusia sebagai makhluk sosial seharusnya dapat menghadirkan keselarasan antara kebahagiaan individu dan kepentingan sosial. Sehingga kita sampai pada sebuah pertanyaan, bagaimana menyelaraskan kebahagiaan individu dan kepentingan sosial?

Agama khususnya islam, hadir sebagai sebuah sistem ilahi yang tak membatasi persoalan keimanan hanya pada hubungan hamba dengan Tuhan. Keimanan kepada Tuhan justru dapat dinilai berdasarkan sejauh mana hubungan sesama hamba berlangsung (hubungan antar individu).

Agama melihat nilai-nilai kemanusiaan sebagai pengejewantahan ketauhidan. Tak ada tauhid ketika terjadi pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, perbincangan kebahagiaan tidak terbatas pada pemenuhan kepentingan yang sifatnya individual, melainkan bagaimana agar kebahagiaan individu dapat selaras dengan kepentingan umum. Islam yang membangun sistem secara menyeluruh, mencakupi pengembangan dua aspek ini, individu dan masyarakat.

Dari sisi individu, agama menyeru manusia untuk dapat menyelaraskan kepentingan masing-masing individu terhadap kepentingan sosial. Agama menyeru kepada cinta dan kasih sayang, bagaimana individu dapat melakukan kebajikan dan pengorbanan.

Dari sisi masyarakat, agama mengambil bagian dalam menciptakan keselarasan lingkungan sosial dengan kehidupan individu. Mendudukkan keadilan sosial yang sesuai dengan kepentingan umum. Hingga akhirnya, tujuan utama yang ingin dicapai adalah kehidupan sosial (kemaslahatan umum), bukan kepentingan individu.

Namun yang tetap penting untuk dicatat, pencapaian kehidupan bersosial tak lantas menegasi kebahagiaan individu. Sebab kebahagiaan yang sebenarnya, terjadi ketika masyarakat bergerak dengan landasan hukum yang bersendikan keadilan, dan masing-masing individu menunjukkan kesediaan untuk selaras dengan kepentingan umum. Ketika sistem yang adil telah terbangun, maka tiap individu akan melakukan pemenuhan kewajiban yang efeknya adalah pemenuhan terhadap hak individu lainnya. Olehnya, dalam sistem yanh dibangun ini, tak ada hak individu yang terenggut. Di atas landasan keadilan ini juga, individu bergerak melakukan pengorbanan atas dasar cinta dan kasih (implikasi tauhid), sebagai proses penyempurnaan diri, yang juga merupakan kebahagiaan yang sejati.

Wallahualam bishawab
Yogyakarta, 30 April 2024