Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim, namun banyaknya kasus kriminal, merajalelanya korupsi, tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maraknya kenakalan remaja, hingga pelecehan oleh oknum tokoh agama, melahirkan sekian pertanyaan yang menusuk batin kita, khususnya bagi kita yang juga beragama islam. Benarkah Islam adalah agama yang membawa kebaikan dan kedamaian? Tapi mengapa banyak orang yang tertindas dan dirampas haknya di negara ini? Berapa banyak orang yg hidup di garis kemiskinan? Kita juga mesti menggugat, bukankah islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan? Indonesia dengan mayoritas penduduk muslimnya sama sekali tak mencerminkan wajah keadilan, kasih dan rahmat bagi seluruh alam, yang seringkali menjadi kalimat yang digaungkan dalam islam itu sendiri.
Fenomena orang beragama yang justru bertindak merusak, membuat banyak orang ragu, mungkin kita pun termasuk. Benarkah agama adalah sebaik-baik jalan hidup bagi manusia untuk bertemu dengan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan? Kita seringkali menemukan orang yang tidak bertuhan dan tak beragama, namun tindakannya justru lebih “beragama” dibanding mereka yang meneriakkan agama dengan lantang. Mereka yang merawat alam, peduli dengan hewan dan memberi makan kepada mereka yang kelaparan justru tak jarang adalah orang yang dipandang sinis dari mereka yang jumawa dengan keberagamaannya. Lantas darimana kebaikan yang datang dari orang-orang tak beragama ini? Apakah ada kebaikan yang tak datang dari Tuhan?
Kita sampai pada pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah agama dan nilai-nilai kemanusiaan adalah dua hal yang tak sejalan? Apakah agama di satu sisi adalah satu hal, dan nilai-nilai kemanusiaan adalah hal lainnya? Atau mungkinkah justru nilai-nilai kemanusiaan bahkan bertentangan dengan agama?Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah afirmasi, maka seharusnya agama dengan sejumlah aturannya memang tak layak dijadikan sebagai sebuah jalan hidup. Mungkin akan lebih mudah hidup dengan lepas dari aturan agama namun tetap memegang nilai-nilai kemanusiaan (humanisme). Jika ini benar, maka tinggallah agama sebagai sebuah ajaran dogmatis belaka yang sama sekali tak memiliki fungsi dalam melakukan perbaikan (transformasi) dalam masyarakat.
Filsuf muslim kontemporer, Murtadha Muthahhari melihat bahwa ajaran tauhid yang dibawa oleh islam, ajaran yang pertama kali disampaikan oleh sang utusan, Rasulullah Saw. sebelum shalat, zakat dan kewajiban lainnya, justru adalah pilar bagi kemanusiaan. “Wahai manusia! Katakanlah tidak ada Tuhan selain Allah”, menjadi dasar yang penting dari agama islam. Beliau menegaskan, selama permasalahan ini tidak mempunyai akar di dalam jiwa dan hati seseorang, maka semua bagian yang merupakan cabang-cabang agama belum mempunyai dasar.
Sampai di sini, permasalahan kita ada dua. Pertama, fenomena orang beragama yang dalam tindakannya sama sekali tak mencerminkan keberagamaannya, boleh jadi beragama sebatas formalitas belaka. Hilangnya sisi batin agama yang justru menjadi hal yang penting, membuat agama menjadi momok yang menakutkan bagi kelompok yang lain sebab hanya akan menampilkan wajah agama yang kaku bahkan mengkhianati kemanusiaan. Olehnya, pembahasan tauhid yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sisi batin islam, menjadi satu isu penting yang juga layak untuk diperhatikan dewasa ini. Namun tentu ini pokok persoalan yang rumit dan perlu ruang lain yang lebih luas untuk mengurainya.
Masalah yang kedua termasuk konsekuensi dari pokok masalah pertama dan inilah inti pembahasan kita. Ketika agama kehilangan sisi batin akibat rapuhnya pondasi tauhid, maka lahirlah pemisahan antara nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Padahal keduanya sama sekali tak terpisah, bahkan ajaran tauhid bukan saja pondasi agama, tauhid justru menjadi pondasi bagi kemanusiaan itu sendiri. Ajaran tauhid memebicarakan tentang bagaimana segala hal berasal dari dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu, segala perbuatan akan dikembalikan bukan untuk kepentingan diri (ego pribadi), kekasih, keluarga, penguasa, melainkan hanya kepada-Nya. Di sini jiwa menemukan kestabilan sebab aktifitasnya tak lagi diintervensi oleh hawa nafsu hewaniah dan kepentingan pribadinya, melainkan fitrah insaninya yang berorientasi kepada yang tak terbatas, Yang Maha Mutlak.
Tetapi, darimana datangnya kebaikan (nilai-nilai kemanusiaan) bagi ‘orang yang tak bertauhid’? Secara fitrah, manusia memiliki kecenderungan terhadap kebaikan. Sehingga sebenarnya manusia selalu terpanggil ke arah aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan itu (insan). Hanya saja, pada diri manusia juga terdapat kecenderungan hewaniah, termasuk hawa nafsu dan ego pribadi yang seringkali membuat manusia lalai dari panggilan fitrah insaninya. Posisi jiwa yang ambigu inilah yang terkadang membuat seorang manusia di suatu waktu dapat menjadi manusia yang berbuat baik kepada sesama, namun pada waktu yang lain, ia tenggelam dalam ego dan pengaruh hawa nafsu hewaninya, lahirlah tindakan eksploitasi, korupsi, kekerasan, dan perbuatan negatif lainnya yang sempat kita singgung di awal.
Tiap orang dapat berbuat kebaikan hingga bahkan rela mengorbankan kepetingan dirinya. Namun ia mesti memiliki satu pegangan nilai sebagai tujuan dari kebaikan yang dilakukan (motif). Ketika motif kebaikan yang kita lakukan adalah untuk manusia, orientasi semacam ini tak akan melahirkan tindakan kebaikan yang stabil, sebab bisa jadi kita terjebak pada kebaikan yang hanya dilakukan terbatas pada orang tertentu, sebab kita memiliki kepentingan dengan orang tersebut. Salah satunya mungkin harapan akan timbal balik dari kebaikan kita. Maka tak jarang, kita menemukan orang lain atau bahkan mungkin diri kita sendiri, yang kecewa ketika telah berbuat baik kepada orang lain, namun tak menerima balasan kebaikan yang sama dari orang tersebut. Tentu ini juga satu pilihan. Hanya saja, kebaikan seperti ini menjadi tidak stabil sebab masih dikontrol oleh aspek psikologis (suka/tidak suka) kita sebab cenderung mudah ditunggangi oleh motif (kepentingan) hawa nafsu dan ego pribadi tadi.
Kita berharap dapat sampai pada tindakan kebaikan (aplikasi nilai-nilai kemanusiaan) yang stabil. Bahwa kita akan berbuat baik tanpa memandang siapa sosok itu, baik dia kaya atau berkecukupan, keluarga atau bukan, pejabat ataupun rakyat biasa, entah orang itu akan membalas kebaikan kita atau tidak. Sehingga kebaikan telah menjadi moral pribadi kita yang terlepas dari bagaimana orang lain berlaku terhadap kita. Kebaikan yang kita yakini, dilakukan bukan untuk menjadi rahmat yang terbatas, melainkan untuk “seluruh alam”. Kebaikan dan nilai-nilai luhur lainnya juga kita lakukan bukan lagi karena kepentingan kita, melainkan sebab itu layak untuk dilakukan.
Pada tahap ini, ketika kebaikan yang kita amini tak lagi bermotif pada apa pun (material), maka mesti kita memiliki suatu konsep nilai yang lebih tinggi, dan menjadi acuan kita dalam berbuat baik, apapun namanya. Hal tersebut menjadi satu idealitas bagi jiwa, menjadi satu-satunya orientasi dalam berbagai tindakan kita.
Akhirnya, syariat dalam agama sebenarnya menjadi jalan bagi jiwa agar dapat menyingkap fitrah insani yang telah dititipkan pada diri tiap manusia. Pelaksanaan syariat dengan sejumlah aturannya menjadi latihan bagi jiwa untuk dapat meninggalkan hawa nafsu dan ego yang mengekang manusia dan membuatnya jauh dari dirinya yang sejati (insan). Ketika jiwa manusia tak lagi menjadi budak dari hawa nafsu dan ego rendahnya (hewaniah), maka ia pun dapat melakukan pengorbanan demi satu konsep yang dia idealkan tersebut, dan agama menyebut konsep ini sebagai tauhid, yaitu bahwa semua sebab adalah dia, karena semuanya berasal dan akan kembali kepada-Nya.
Wallahualam bissawab.
26 April 2024