Menganalisis tentang kebenaran dan nilai pengetahuan adalah perkara yang terletak pada problem asasnya. Kebenaran sendiri itu apa dan Nilai Pengetahuan itu apa? sebab, ketika kita melihat ke alam, maka alam menyediakan kerangka kebenaran yang beragam. Kebenaran empiris tak ayal, menjadi watak umum. Yang dikatakan oleh doktrin rasional bahwa masalah pengetahuan ilmiah kita adalah pertama, karena adanya kondisi yang umum dalam setiap pengalaman dan kedua, informasi yg kita terima adalah suatu yang tidak utuh.
Kejelian melihat pertautan keduanya, secara alur membuat kita mesti menempatkan akal terus bergerak pada poros kebenaran aktual dari nilai pengetahuan. Kebenaran sebagai sebuah prinsip yang niscaya tidak memerlukan lagi pembuktian empiris. Sesuatu yang substansi menjadi agak absrud, ketika konstruksi nilai tidak didudukkan dalam sebuah kerangka (sistem).
Kebenaran dalam realitas ilmiah bersifat relatif. Sehingga, pertanyannya: bagaimanakah cara kita untuk sampai pada kebenaran mutlak? Disinilah, pertamakali kita menempatkan neraca atau ukuran yg disandarkan pada subjek tertentu. Seandainya saja, kita berhenti pada relatifitas karena monoton pandangan dunia kita ke alam (dinamis dan partikular), maka justru alam membawa kita pada kerangka yang absurd. Dan menjauhkan kita dari nilai pengetahuan yg absolut tentang kebenaran.
Semakin kita menempatkan kebenaran terbatas pada ruang ilmiah, maka semakin tertutupnya kita untuk sampai pada realitas objektif. Subjektifitas yang tendensius (sudut pandang) akan terus berputar pada lingkaran empiris yang daur. Olehnya, ukuran mencapai nilai pengetahuan tentang alam mesti ditarik pada kualitas konstruksi rasionalitasnya.
Kebenaran adalah sebuah prinsip yang niscaya. Ia tidak mempunyai sandingan, sebagaimana hal-hal yg bersifat esensial, sehingga apapun yang menjadi kegelisahan kita ialah menyoal masalah metodologi untuk sampai pada kebenaran.
Misalnya, prinsip identitas yang dibangun dalam doktrin rasional menjadi hipotesis, seperti apa kita melihat kebenaran itu sebagai satu eksistensi. Bukan sesuatu yg berlawanan (kontradiksi). Secara epistemik, alur nilainya akan dilihat dalam kedudukan metodologi keselarasan. Sebab, kepentingan pengetahuan kita saat ini asasnya adalah konstruksi.
Namun, bagaimana konstruksi itu dapat menemukan nilainya, itulah neraca objektif. Bahwa, kepartikularan sesuatu ditemukan pada kemaujudan sesuatu itu sendiri. Bukan diluar dirinya. Di alam kita menata kebenaran pada ranah realitasnya yang objektif. Disinilah, sikap hidup rasional kita melihat sisi metodologi dan substansi realitas itu sendiri. Kita yang mencari kebenaran pada derajat rasionalitas sebab akal kita senantiasa menurujuk pada sesuatu yang selaras dengan prinsipnya, yakni Kebenaran (mutlak).
Lantas, sampai dimana kita menempatkan kebenaran relatif ini? Kembalikan pada sudut pandang, ketika tidak ada ruang objektif (ukuran) maka kejatuhannya adalah nilai yngg idealis. Padahal, akal menutut sesuatu yang realis. maka, jalan yang tersedia ruang kemungkinannya adalah pada doktrin rasional sebagai metode menemukan realitas objektifnya di alam.
Sekali lagi yang harus kita renungi adalah alam dalam struktur epistemiknya tidak boleh kita lepaskan. Sebab pembiaran non-epistemik akan menjadi guncangan (absurd) kita dalam kegandruman melihat sisi realisme kehidupan.
Jiwa kita menuntut kepastian (tunggal) hanya pada Kebenaran. Oleh karenanya, jalan ketenangan adalah dalam kepastian kebenaran. Jiwa yang progresif adalah Jiwa yang selalu menampakkan wajah kerinduannya pada hakikat diri yang Satu (Al-Haqq)