Alam dan segala isinya merupakan sesuatu yang pada hakikatnya akan terus mengalami perubahan. Segala yang berubah dan dapat mengalami kefanaan, tak dapat menjadi tempat jiwa bergantung. Satu-satunya hal yang layak untuk jiwa bergantung padanya ialah sesuatu yang tak berubah (tetap) dan tak berkekurangan (sempurna). Fitrah pada diri manusia, menuntut jiwa untuk melakukan perjalanan menuju pada kesempurnaan tersebut. Selama jiwa tak berusaha meniti pada jalan menuju kesempurnaan ini, maka jiwa akan mengalami penderitaan, karena tidak ada hal yang dapat memenuhi fitrahnya di alam material yang terbatas, selain menuju pada kesempurnaan tersebut.
Jiwa kemudian melakukan perjalanan, meninggalkan hal-hal yang membuatnya terbatas di alam materiel, menuju alam yang tak terbatas. Usaha jiwa untuk ‘meninggalkan’ ikatan alam material, selaras dengan usaha jiwa untuk meninggalkan kesenangan hewaniah yang membelenggunya. Ketika jiwa tak berhasil melakukan ini, maka terbelenggulah ia dalam kecenderungan hawa nafsu material. Inilah yang juga menjadi dasar lahirnya eksploitasi hawa nafsu atas nama agama. Agama bisa saja disampaikan sedemikian rupa, namun demi pemuasan ego dan hawa nafsu. Ayat-ayat Tuhan digunakan dan ditafsirkan secara serampangan untuk membenarkan kepentingan pribadi.
Berdasarkan struktur ini, kita dapat meyakini bahwa agama yang tak sampai pada akal, agama yang tak sampai pada hakikat pengenalan akan Tuhan (tauhid) hanya berakhir pada agama yang sifatnya psikologis belaka. Mengingat Tuhan ketika susah, dan meninggalkan Tuhan ketika senang. Agama dan Tuhan hanya menjadi tempat pelarian atas kesulitan material yang dialami. Sebab, ketika tauhid telah kokoh menjadi dasar keberagamaan, maka tak ada lagi Tuhan selain Dia, tak ada alasan untuk berbuat dan bertindak di alam ini selain karena-Nya. Tak ada lagi kekuasaan, uang, popularitas dan hal lainnya yang menjadi tuhan-tuhan kecil disisi-Nya.
Implikasi pemahaman tauhid hadir pada penaatan terhadap perintah-Nya, termasuk pahaman amar ma’ruf dan nahi munkar yang disampaikan oleh agama. Pengenalan akan-Nya, membuat kita mengikuti pembimbgan pada jalur kenabian agar dapat selamat sampai kepada-Nya. Pengenalan akan diri-Nya, membuat kita menaati perintah-Nya untul menghormati hak orang lain melalui pemenuhan kewajiban-kewajiban kita (keadilan). Sehingga pengenalan akan diri-Nya (tauhid) melahirkan optimisme dalam diri kita untuk mendapati jiwa kita dalam perjalanan menuju kesempurnaan, perjalanan menuju kepada-Nya dengan tidak mengkhianati kemanusiaan.
Wallahualam bissawab.