Media pemberitaan yang menangkap beragam fenomena setidaknya dapat menjadi sedikit gambaran atas kondisi masyarakat kita saat ini. Salah satu kasus yang seakan tak pernah absen dari pemberitaan di media sosial kita adalah bagaimana perempuan direndahkan melalui sederet tindakan yang jauh dari kata manusiawi.
Apa yang terjadi pada batin masyarakat kita saat ini hingga makhluk yang dimuliakan oleh sang utusan justru banyak berakhir menjadi objek eksploitasi hawa nafsu? Apabila tindakan tak lain adalah hasil dari aktifitas jiwa, maka dalam kondisi ini seharusnya ada kekeliruan dalam jiwa memahami dan memandang perempuan.
Lantas bagaimana kita menghadapi masalah ini?
Rasulullah SAW. yang menjadi sebaik-baik suri tauladan bagi manusia, adalah orang yang menghormati, bahkan mencium tangan seorang perempuan di tengah masyarakat yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang lahir. Perbedaan tindakan terhadap satu objek yang sama ini dikarenakan perbedaan persepsi di antaranya. Penyaksian yang terbatas pada fisik dan imaji, berujung pada eksploitasi hawa nafsu, sedang penyaksian yang sampai pada akal akan mampu menyingkap hakikatnya.
Sayyidah Zahra as, sosok yang dididik dari rahim kenabian, membuatnya terbentuk langsung dibawah sinaran cahaya kenabian. Menjadikannya manifestasi cahaya keagungan-Nya, sehingga ketaatan kepada Allah dan Rasulnya telah menjadi bagian dari dirinya. Ketaatan yang merupakan wajah dari cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya inilah yang menjadi spirit pendorong Sayyidah Zahra as untuk bangkit dan melakukan perlawanan terhadap kedzaliman yang tampak dihadapannya.
Perempuan hari ini perlu mengaitkan dirinya pada akal, pada ketaatan melalui spirit Sayyidah Zahra as. Spirit yang akan membuat perempuan menemukan hakikat dirinya, sehingga mereka pun dapat turut berangkat dengan hijab, menjadi sebaik-baik “perempuan yang tidak memandang dan dipandang oleh laki-laki.”
Melalui spirit Sayyidah Zahra as, perempuan akan kembali pada dirinya untuk bangkit dan melakukan perlawanan. Dengan ini, Rumah Cinta dan Kebangkitan, akan menjadi saksi bagaimana sejarah dapat kembali berjalan pada tuntunan cahaya ilahi.

Nur Afika Firanti
Rumah CInta Fatimah Palopo