Refleksi Pemikiran Tokoh: Falsafah Hijab Dalam Pandangan Murtadha Muthahhari
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/595108538296927576/

Dalam kajian-kajian pada umumnya, konsep hijab (terutama pada makna yang lebih sempit seperti jilbab dan ikhtilat) lebih banyak dibahas sebagai bahasan fikih. Berhubungan dengan perintah agama yang wajib dijalankan, dosa-pahala, halal-haram, surga-neraka dan batas-batasan fisik.

Sedangkan bahasan terkait falsafah hijab terdengar tidak lazim sehingga menjadi dipahami ketika perempuan yang sama-sama berhijab (jilbab), memiliki motivasi bermacam-macam. Dipahami pula ketika ada perempuan yang begitu taat menerapkan syariat hijab tapi masih bingung-bimbang dengan hal-hal yang sifatnya falsafi berkaitan dengan hijabnya.

Sebagai contoh ada rekan aktivis yang begitu gelisah ketika harus berdakwah di media sosial karena hal tersebut berlawanan dengan perempuan yang harusnya terhijab. Dia enggan menunjukan perhiasannya tapi disisi lain Ustadzah yang menjadi panutannya selalu tampil anggun mempesona ceramah di media sosialnya. Pertanyaan falsafinya, apakah turunnya syariat hijab itu bermakna ketersembunyian perempuan atau justru bekal agama berupa ruang bagi perempuan untuk beraktifitas sosial

Contoh lain ada kawan yang bertanya-tanya dan merasa dirinya sungguh berdosa karena lebih nyaman menggunakan celana kulot dan tidak betah memakai gamis padahal dia perempuan muslim. Pertanyaan falsafi nya apakah syariat hijab ini hanya berhubungan dengan dosa-pahala atau ada tujuan besar lain? Apa sebenarnya tujuan hijab bagi perempuan selain kalau tidak patuh akan berdosa?

Bahasan falsafah hijab menjadi menarik karena hari ini banyak sekali perempuan sudah berhijab dan memahami diluar kepala bagaimana hukumnya, batas-batas fisik, berbagai konsekuensi yang mungkin muncul hingga hafal ayat-hadistnya tapi sebagian masih mengalami kegelisahan yang jika digali kegelisahan itu berasal dari pertanyaan falsafi. Pertanyaan yang muncul secara naluriah dalam diri manusia yang berakal.

Semakin menarik lagi, hari ini semakin bertebaran gaya-gaya jilbab yang menawarkan berbagai variasi mulai dari yang sangat sederhana hingga cetar membahana. Menyikapi ini hanya dengan hukum fikih tanpa landasan falsafi sungguh rentan dengan kegelisahan hati.

Murtadha Muthahhari dengan konsep teologi dan falsafah hijab yang dijelaskan menurut saya cukup melegakan dahaga yang menggelisahkan tersebut. Setidaknya ada 4 hal yang akan saya rangkum sebagai refleksi falsafah hijab menurut Muthahhari.

  1. Hukum hijab tidak hanya mengikat perempuan tetapi juga laki-laki.

Hijab bermakna batasan, artinya batasan ini ada ketika ada 2 hal yang terlibat yaitu SUBJEK yang memandang, dan OBJEK yang dipandang. Hijab memiliki makna keterhubungan antara Subjek dan objek yang harus dibatasi. Ketika tidak ada yang dihubungkan maka dengan sendirinya hijab menjadi tidak bermakna. Subjek yang dimaksud adalah PANDANGAN. Objek yang dimaksud adalah PERHIASAN.

Secara umum baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi subjek maupun objek dalam persoalan hijab ini. Namun apabila melihat kecenderungan, Laki-laki cenderung “lebih suka” memandang sumber keindahan yang ada dalam diri perempuan. Perempuan cenderung “lebih suka” ketika menampakan keindahan/perhiasan yang ada dalam dirinya. Laki-laki cenderung memandang, perempuan cenderung berhias.

Muthahhari mengatakan, tidak ada laki-laki yang secara alamiah mencapai titik akhir kepuasan memandang keindahan perempuan. Dan tidak ada perempuan yang secara alamiah puas dengan perhatian dan usaha menaklukan hati oleh seorang laki-laki.

Oleh karenanya persoalan hijab bukan perkara apakah perempuan lebih baik terbuka atau tertutup. Karena persolannya bukan hanya terletak pada perhiasan perempuan semata tapi juga pandangan laki-laki. Maka, lebih dari itu yang layak dipertanyakan adalah apakah antara pandangan dan perhiasan perlu dibatasi atau dibiarkan bebas tereksplorasi. Pertanyaan ini akan digali pada poin no 4.

Dengan kata lain, hijab perempuan adalah kain yang menutupi perhiasan, hijabnya laki-laki adalah pandangan matanya sendiri. Jadi menurut saya, memusatkan permasalahan hijab hanya terfokus kepada perempuan saja sudah keliru. Menjadi catatan penting bahwa jika hanya perempuan yang selalu dididik bahkan ditekan dengan berbagai ancaman hukuman yang menakutkan untuk menjaga hijabnya tetapi mengabaikan hijab laki-laki maka tujuan syariat hijab akan sulit tercapai. Karena bukan hanya perempuan yang perlu berhijab, laki-laki pun perlu untuk berhijab dengan dimensinya masing-masing.

  1. Hijab bukan hanya perkara fisik tapi juga batin. Ada hijab lahir, ada hijab batin.

Manusia diberi kemampuan untuk menembus dimensi batin dari sesuatu yang lahir. Terdapat fakultas-fakultas dalam diri manusia yang disebut tingkatan persepsi. Yaitu persepsi indra, persepsi imaji dan persepsi akal.

Dalam pembahasan falsafah hijab. Secara lahiriah perhiasan perempuan hanyalah tulang yang terbungkus daging, helaian serat tak berpembuluh yang hitam memanjang, serta getaran udara yang meresonansi sehelai pita suara di tenggorokan. Begitu pula pandangan laki-laki secara lahiriah hanyalah sebuah pantulan benda yang bertemu cahaya sehingga menghasilkan sebuah proyeksi/pandangan.

Secara indrawi baik perhiasan maupun pandangan sebenarnya tidak berefek. Masalah timbul ketika memasuki persepsi imajinasi yang sangat aktif-kreatif terhadap apa yang ditangkap indra. Disini terdapat berbagai potensi yang dapat berubah menjadi godaan jika tidak tepat penempatannya.

Secara alamiah, persepsi imajinasi inilah yang bertanggung jawab membawa apa yang tampak oleh indra sebagai suatu yang disebut indah. Dari struktur ini, hijab lahir saja menjadi tidak cukup untuk mencapai hakikat hijab. Fakultas imaji juga perlu untuk berhijab. Disebut hijab batin. Perempuan bisa saja menutup seluruh perhiasannya dengan hijab lahir. Tapi apabila batinnya tidak berhijab, maka ada begitu banyak cara menarik “pandangan” laki-laki dengan perhiasan yang tertutup.

Hijab batin yang tidak dikenakan juga menjadi faktor yang memunculkan rasa gelisah. Secara lahir tertutup, tetapi secara batin ingin tetap menarik perhatian dan pandangan. Ketentraman jiwa sebagai output dari syariat hijab menjadi sulit tercapai. Bagi laki-laki, bisa saja menghijabi pandangan lahirnya dengan gadhul bashar. Tetapi siapa jamin bahwa imajinasi nya juga terhijab dengan baik. Jika pandangan batin laki-laki tidak dihijabi, jangankan melihat perempuan yang terbuka auratnya, melihat sekilas perempuan yang tertutup saja imajinasi dapat bebas melalang buana dengan liar.

Hal ini menjadi semakin menegaskan mengapa perempuan berhijab tidak menjamin penuh terhadap kejahatan seksual jika dekat dengan laki-laki yang hatinya berpenyakit (tidak mengenakan hijab batin). Laki-laki pun sama sulit nya mencapai ketentraman jiwa apabila hijab lahir maupun batin tidak ia kenakan.

  1. Hijab bagi eksistensi perempuan bukan bermakna ketersembunyian sosial, tapi justru penyokong produktifitas sosial baik laki-laki maupun perempuan.

Hijab dalam falsafah yang dijelaskan Muthahhari dalam pemahaman saya pada akhirnya didudukan sebagi sistem relasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani kehidupan sosial. Kita tidak melihat hijab sebagai ketersembunyian perempuan dikarenakan dia adalah perempuan tapi justru karena hubungannya dengan laki-laki. Bahkan hijab bisa gugur dihadapan laki-laki yang halal untuk menyingkapnya (suami).

Maka hijab adalah BEKAL yang disiapkan khusus oleh Allah SWT agar manusia dapat berinteraksi secara aman, nyaman, wajar dan mencapai produktifitas optimal dalam kehidupan sosial. Bukan penghalang untuk hadir di ruang sosial.

  1. Hijab bukan sekedar berkaitan dengan individu ataupun hubungan antar individu. Hijab adalah sebuah sistem masyarakat.

Muthahhari mengatakan, kita melihat betapa kacau kehidupan ketika perhiasan dan pandangan tidak dihijabi, dalam arti seorang laki-laki bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya dari terbukanya aurat perempuan dan perempuan bisa mendapat panggung seluas-luasnya dengan dalih kebebasan.

Jika masyarakat kita adalah masyarakat dengan banyak keluarga, maka, kemungkinan mereka akan memandang rumah tangga sebagai neraka yang memenjarakannya dengan satu pasangan yang kepadanya saja dia boleh menuangkan segenap hasratnya (jika tidak kehidupan rumah tangganya hancur sedangkan dia membutuhkan keturunan, status sosial, dan berbagai legalitas lain) sementara sebelum menikah, dia bebas mendapatkan banyak akses untuk hasratnya itu.

Pemuda-pemudi tidak akan memandang pernikahan sebagai pintu kebebasan (bagi hasratnya tertahan) yang selama bertahun-tahun dinantikan. Pasangan tidak dianggap sebagai RUMAH (tempat kembali yang didalamnya jiwanya menjadi tenang/sakinah, mawaddah/penuh cinta, wa rohmah/penuh kasih sayang) justru sebagai pesaing yang menghalangi kebebasan yang sewaktu masih lajang bebas dia lakukan.

Bukankah hal itu menunjukan bahwa rumah tangga dalam masyarakat yang menjunjung tinggi “kebebasan pergaulan” itu begitu rentan dan rapuh dari dalam atau akarnya? Disinilah Islam hadir membawa rumus jitu untuk membantu memperkuat akar harmonisasi keluarga dan menentramkan jiwa yaitu HIJAB.

Islam dengan jelas memisahkan lingkungan seksual dan lingkungan sosial. Hasrat diberi ruang seluas-luasnya dalam satu bingkai pernikahan. Dan lingkungan sosial HANYA menjadi ruang untuk bekerja dan beraktifitas.

Ketika dalam pergaulan sosial baik laki-laki maupun perempuan tidak terangsang naluri/hasratnya, pasangan yang berpisah tidak akan gelisah dengan pasanganya, seorang suami tidak khawatir dengan keamanan istrinya dari berbagai kejahatan karena keindahanya menarik perhatian orang jahat, dan seorang istri tidak khawatir suaminya tergoda perempuan lain, maka baik pikiran maupun tenaga akan terkondisi terhadap hal-hal produktif dan profesional.

Kegiatan pembelajaran dan berbagai aktifitas masyarakat dan perusahaan akan lebih produktif dengan kondisi jiwa stabil masyarakatnya yang berasal dari akar harmonisasi keluarga/rumah tangga yang kuat karena hasrat yang terwadahi dengan benar.

Hijab sebagai satu sistem tidak hanya hadir dalam hubungan relasi 1 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Tapi dia adalah satu sistem dalam masyarakat. Dari penjelasan Muthahhari kita tangkap bahwa Hijab apabila ditarik dalam persepsi akal, maka tidak hanya melahirkan ketentraman jiwa dalam kehidupan sosial. Tapi juga melahirkan keharmonisan keluarga dan produktivitas sosial.

Wallohua’lam bi shawab

Sumber:
Buku Teologi dan Falsafah Hijab Murtadha Muthahhari

Rovieka

Rumah CInta Fatimah

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *