Bagaimana arti dari “Taksonomi Budaya” yang disampaikan dalam kuliah umum ini. Secara sederhana yang mampu saya pahami yaitu, ingin membawa spirit (semangat) daripada ilmu pengetahuan yang kepada arah universal (inklusif). Artinya, bagaimana menghidupkan sebuah tradisi intelektual (ruang belajar) yang hidup dalam sebuah ruang-ruang kemasyarakatan yang tidak terisolasi hanya kepada segelintir individu dan kelompok tertentu saja dalam hal ini hanya ekslusif (contoh; kampus dan gedung mewah).
Pengetahuan mestilah tidak hanya menjadi kaki tangan sebuah kelompok tertentu yang menutup diri dengan kelompok lainnya. Pengetahuan mestilah tidak hanya sebagai modal untuk melanggenkan kekuasaan semata sehingga terpisah dari masyarakatnya. Pengetahuan mestilah tidak hanya beroperasi pada ruang-ruang yang elitis, mewah, dan seterusnya.
Pengetahuan itu atau seseorang yang berintelektual mesti memikirkan dan membawa nilai pengetahuan itu kepada pengembangan daya kritis, paradigmatik, dan paling penting keberpihakan terhadap masyarakat dan hidup sebagai kebudayaan (kultur). Lalu tumbuh membudaya dalam masyarakat yang terus menerus dari generasi ke generasi sebagai bagian dari rangkaian sejarah filosofis.
Oleh karena itu, tujuan daripada sebuah ilmu pengetahuan atau seseorang berintelektual. Dalam hal ini tantangan daripada sebuah RausyanFikr (Kaum Tercerahkan) mesti menyingkap apa sebenarnya yang menjadi masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat dan berjuang bersama sebagai gerakan sosial yang dilandaskan oleh suatu bangunan paradigmatik dan spiritualitas yang termaktub secara keseluruhan sebagai dasar tindakannya disebut ideologi “Islam” (Tauhid).
Adanya sebuah tindakan (perbuatan) yang tidak hanya sekedar mementingkan dirinya sendiri (individualisme). Akan tetapi, muncul untuk membawa kepentingan yang bersifat transedental (kesucian) yaitu, hidup dan berjuang bersama masyarakat tertindas sebagai hasil dari sistem kekuasaan yang tidak adil dan zalim.
Lantas, gerakan sosial yang dapat saya sederhanakan dalam kuliah umum ini ialah, gerakan sosial adalah sebuah tindakan jihad dan pengorbanan yang bersandar pada capaian kesadaran intelektual dan ditopang oleh spiritualitas lalu memulai perjuangan dari kekuatan masyarakat dan kultur (budaya) sebagai upaya untuk melakukan kebangkitan dan bersaksi kepada sebuah keyakinan ideologis yang hadir dalam hatinya (kedalaman).
Alhasil, bagaimana membawa refleksi ini kedalam analisis ontologi. Secara sederhana ontologi ingin mendudukkan dua perkara yang tidak mudah antara sebuah substansi yang bersifat tetap (wujud) dan penampakan yang bersifat metode (maujud dan tak maujud). Hasil analisis tersebut mengantarkan penulis kepada perenungan sebagai berikut;
Jadi, dalam bahasan masyarakat dan kebudayaan sebuah analisis ontologi membawa penulis kepada kenyataan secara faktual dan data masyarakat dan kebudayaan di Indonesia saat ini masing-masing memiliki sebuah tatanan nilai sendiri dalam kebudayaannya. Sehingga, upaya bagaimana membuat perbedaan tersebut mampu mencapai sesuatu yang mendasar sebagai kesatuan layaknya teori ontologi adanya kemedansaran wujud sebagai asas fundamental (realitas) yang bersifat swabukti.
Oleh karena itu, intelektual dan spiritualitas dalam struktur kuliah umum tadi mewajibkan adanya sebuah tatanan nilai bersama (ideologi) sebagai dasar tindakan sebagai perwujudan kesatuan konsep yang diyakini hingga sampai kepada kedalaman hati.
Pertanyaan kemudian hadir, ideologi apa yang layak untuk hadir di tengah masyarakat dan mewujudkan kesatuan konsep di tengah beragam sudut pandang (konstruksi) oleh masyarakat khususnya Indonesia?
Ideologi atau konsep yang paling mendasar ialah, wujud keadilan. Konsep ini swabukti secara langsung (hudhuri) sebagai fitrah manusia. Wujud keadilan ini yang mampu mempersatukan setiap ummat oleh perbedaan dalam setiap kebudayaan yang berbeda-beda di Indonesia. Maka, intelektual dan fondasi spiritualitas Islam membangun kerangka keadilan sebagai hal yang objektif dalam sebuah masyarakat yang majemuk.
Refleksi keadilan itu salah satunya hadir ketika merefleksikan peristiwa Asyura sebagai representasi wujud kemanusiaan, cinta, dan keadilan. Yakni beliau Imam Husein, keluarga, dan sahabatnya tumpahkan melalui pengorbanan dan coretan darah terhadap sebuah ideologis (amar maruh nahi mungkar) dalam agama Islam yang dipegang erat dapat juga disebut ideologi yang tertutup yang tersambung langsung (hudhuri) kepada spiritualitas (kesucian).
Sayangnya stigma seperti peristiwa Asyura hanya teroisolasi melalui mazhab tertentu. Bahwa semestinya refleksi tentang peristiwa Asyura di Karbala dipandang sebagai nilai yang mampu menyatukan ummat dalam representasi ideologi keadilan sebagai kesatuan konsep yang menyamakan keberagaman dalam masyarakat.
Tantangan ini diemban oleh RausyanFikr atau jaringan aktivis intelektual (Jakfi) untuk terus membawa masyarakat kepada kelayakannya secara akal (kesucian). Agar masyarakat juga tidak buta dalam kenyamanan sejarah yang tertutupi oleh segelintir kepentingan kelompok tertentu saja bukan secara universal.
Rajab
Santri Takhasus 2024-2025
PPM Muthahari Yogyakarta